Kearifan Lokal dan Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi UU Kepariwisataan 2025

  • Dibaca: 395 Pengunjung
  • |
  • 11 Desember 2025
  • |
  • Kontributor: I Nengah Laba

Prof. Dr. I Nengah Laba, Guru Besar Universitas Dhyana Pura, Penulis Buku "Pariwisata dalam Perspektif Wacana Kritis", Editor Buku "Rethinking International Tourism: Sustainability, Digital Transformation, and Cultural Preservation"

Kearifan Lokal dan Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi UU Kepariwisataan 2025
oleh 
I Nengah Laba

 

Disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2025 tentang Kepariwisataan menandai arah baru pembangunan pariwisata Indonesia. Regulasi ini tidak hanya memperbarui kerangka hukum sebelumnya, tetapi mempertegas bahwa pariwisata harus dibangun berlandaskan keberlanjutan, pelestarian budaya, dan inklusivitas. Ini menjadi penting mengingat laju pariwisata selama satu dekade terakhir sering kali didorong oleh target pertumbuhan kunjungan yang tinggi, sementara aspek sosial budaya dan lingkungan kerap tertinggal. Di Bali, misalnya, tekanan ekologis, komersialisasi budaya, dan ketimpangan ekonomi menunjukkan bahwa pariwisata tidak bisa lagi dipahami semata sebagai mesin ekonomi, melainkan sebagai sistem sosial dan ekologi yang kompleks.

Kearifan lokal menjadi elemen krusial dalam konteks ini. Berbagai literatur menunjukkan bahwa komunitas yang mengakar pada budaya lokal memiliki kapasitas adaptasi yang lebih kuat dan mampu menjaga keberlanjutan destinasinya (Smith, 2009; Butler & Hinch, 2007).

Bali memiliki falsafah Tri Hita Karana, yakni harmoni hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesame yang selaras dengan prinsip pariwisata berkelanjutan menurut UNWTO dan juga tertuang jelas pada Pasal 4 (poin c, d, dan e) UU No. 18 Tahun 2025 tentang Kepariwisataan. Namun kearifan lokal tidak boleh diperlakukan sebagai sekadar atraksi atau hiasan dalam brosur pariwisata. Ia harus menjadi kerangka tata kelola. Desa adat, subak, sekaa, dan struktur sosial lain telah lama menjaga ruang hidup masyarakat Bali. Ketika pariwisata tumbuh tanpa memahami struktur ini, konflik ruang, banjir wisatawan, dan komodifikasi budaya menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.

Dalam konteks inilah Undang-Undang Kepariwisataan 2025 menyediakan peluang strategis. Undang-undang tersebut menempatkan pelestarian budaya, pemberdayaan masyarakat, dan keberlanjutan lingkungan sebagai tujuan utama penyelenggaraan pariwisata nasional.

Literatur dalam studi pariwisata berbasis masyarakat telah menunjukkan bahwa ketika masyarakat lokal dilibatkan secara penuh dalam perencanaan dan pengelolaan pariwisata, nilai tambah ekonomi lebih banyak bertahan di daerah, sementara budaya dan lingkungan lebih terlindungi (Goodwin, 2011; Scheyvens, 1999). Partisipasi masyarakat bukan sekadar aspek moral, tetapi mekanisme pembangunan yang efektif. Tanpa itu, pariwisata berisiko menghasilkan ketimpangan, seperti yang terlihat pada destinasi yang terlalu bergantung pada investor besar dan mengesampingkan pelaku lokal.

Tekanan ekologis juga menjadi alasan mengapa implementasi UU ini perlu dikawal dengan serius. Riset UNEP–UNWTO (2012) tentang dampak overtourism memperingatkan bahwa daya dukung lingkungan memiliki batas. Bali telah merasakan gejala ini dengan bukti mulai dari penurunan kualitas air tanah, kemacetan parah, hingga tekanan pada kawasan suci karena jumlah wisatawan yang tidak terkendali. UU Kepariwisataan 2025, utamanya yang tertuang pada Pasal 9B secara tegas mengamanatkan penjagaan keberlangsungan kepariwisataan yang harus mengutamakan lingkungan alam dan budaya secara terpadu. Dengan demikian, pembuat kebijakan tidak dapat lagi hanya berlomba-lomba meningkatkan jumlah kunjungan, tetapi harus memastikan bahwa destinasi mampu menyerap dampaknya tanpa merusak keberlanjutan lingkungan dan budaya jangka panjang.

Agar undang-undang ini tidak berhenti menjadi teks hukum yang ideal tetapi sulit ditegakkan, berbagai langkah solutif perlu segera dilakukan. Pemerintah daerah perlu menyusun regulasi turunan yang mengintegrasikan nilai-nilai lokal dalam tata kelola destinasi, termasuk pengaturan ruang, mekanisme kunjungan, dan pelestarian budaya. Desa adat dan komunitas lokal wajib diperkuat melalui pembentukan badan pengelola pariwisata berbasis komunitas yang legal, transparan, dan memiliki kapasitas manajerial. Penetapan daya dukung dan kuota kunjungan untuk kawasan suci dan destinasi ekologis merupakan tindakan yang mungkin tidak populer, tetapi penting untuk menjaga keaslian dan kemampuan regeneratif lingkungan. Di sisi lain, peningkatan kompetensi SDM lokal melalui pelatihan manajemen homestay, pemandu budaya, storytelling lokal, dan literasi digital harus menjadi prioritas agar masyarakat mampu bersaing dalam ekosistem pariwisata modern yang semakin digital.

Di atas semua itu, kolaborasi antara kampus, pemerintah daerah, masyarakat adat, dan pelaku industri perlu diwujudkan melalui pembentukan laboratorium kebijakan pariwisata atau tourism policy lab. Kolaborasi ini penting untuk memastikan implementasi berbasis bukti, bukan sekadar preferensi politik atau kepentingan jangka pendek. Evaluasi berkala berbasis penelitian sosial, budaya, ekonomi, dan ekologi akan memastikan bahwa pelaksanaan UU Kepariwisataan 2025 tetap berada pada jalurnya, yakni pariwisata yang adil, lestari, dan berakar kuat pada identitas bangsa dan bertumpu pada kearifan lokal dan partisipasi masyarakat.

Penulis,
Guru Besar Universitas Dhyana Pura
Penulis Buku "Pariwisata dalam Perspektif Wacana Kritis"
Editor Buku "Rethinking International Tourism: Sustainability, Digital Transformation, and Cultural Preservation"

 

  • Dibaca: 395 Pengunjung
  • |
  • 11 Desember 2025