Linguistik Pariwisata: Membahasakan Sampah dan Risiko Banjir Menjelang Penutupan TPA Suwung

  • Dibaca: 417 Pengunjung
  • |
  • 09 Desember 2025
  • |
  • Kontributor: I Nengah Laba

Prof. Dr. I Nengah Laba, Guru Besar Universitas Dhyana Pura, Penulis Buku "Pariwisata dalam Perspektif Wacana Kritis", Editor Buku "Rethinking International Tourism: Sustainability, Digital Transformation, and Cultural Preservation"

Linguistik Pariwisata: Membahasakan Sampah dan Risiko Banjir Menjelang Penutupan TPA Suwung 
oleh
I Nengah Laba


Banjir besar yang melanda Bali pada 10 September 2025 bukan hanya peristiwa ekologis semata, tetapi juga penanda adanya tekanan lingkungan yang telah menumpuk selama bertahun-tahun. Genangan air tinggi yang menghambat aktivitas Masyarakat dan bahkan menimbulkan ketidaknyamanan wisatawan dipicu kombinasi faktor seperti penumpukan sampah, curah hujan ekstrem, hingga menyempitnya daerah aliran sungai (DAS) akibat berkurangnya sawah, tegalan, dan hutan di wilayah hulu.

Ketika video wisatawan berjalan di tengah banjir menyebar cepat di media sosial, peristiwa yang awalnya bersifat lokal segera berubah menjadi persoalan citra global. Dalam perspektif linguistik pariwisata, visual dan bahasa yang menyertai sebuah peristiwa sangat menentukan bagaimana destinasi dipersepsikan. Artinya, banjir tidak hanya menghancurkan infrastruktur, tetapi juga dapat menimbulkan “banjir narasi negatif” yang berpengaruh langsung pada reputasi pariwisata Bali.

Di tengah situasi ini, rencana penutupan TPA Suwung pada 23 Desember 2025 memunculkan kembali kegelisahan publik. Masyarakat bertanya-tanya, setelah TPA ditutup, ke mana sampah yang tidak dapat dikelola di rumah tangga akan dibuang? Apakah Bali telah memiliki fasilitas alternatif yang benar-benar siap? Dan yang tidak kalah penting, apakah masa transisi ini akan menimbulkan situasi yang berpotensi mengganggu kenyamanan wisatawan, seperti tumpukan sampah atau gangguan sanitasi di kawasan-kawasan strategis?

Pertanyaan dan kekhawatiran ini wajar, mengingat pengalaman menunjukkan bahwa isu lingkungan di Bali sangat mudah menjadi viral dan memengaruhi persepsi wisatawan lebih cepat daripada proses penanganannya.

Oleh karena itu, komunikasi publik layak diposisikan sebagai elemen inti dari mitigasi risiko. Pemerintah harus mampu memperlihatkan apa yang dikerjakan melalui penyampaian informasi yang transparan, terukur, dan konsisten. Data penting seperti volume sampah harian, lokasi fasilitas pengganti TPA, daya tampung masing-masing wilayah, dan rencana jangka pendek dan jangka panjang harus dipublikasikan secara terbuka.

Publik, termasuk wisatawan, memiliki hak untuk tahu apakah Bali benar-benar siap menghadapi penutupan TPA terbesar di Bali tersebut. Dalam hal ini, pendekatan linguistik terapan menjadi sangat relevan. Teori framing dari Entman (1993) membantu memahami bahwa cara pemerintah mendefinisikan masalah akan memengaruhi bagaimana publik menerima dan menilai solusi. Jika isu sampah dibingkai sebagai “potensi krisis”, publik akan cemas. Tetapi jika dibingkai sebagai “langkah menuju sistem pengelolaan modern dan berkelanjutan”, maka publik akan lebih percaya diri dan memahami konteks perubahannya.

Demikian pula dengan audience design (Bell, 1984) yang menekankan pentingnya menyesuaikan bahasa dengan karakter audiens. Wisatawan membutuhkan informasi singkat yang menenangkan, dan mudah ditemukan di kanal resmi. Pelaku industri pariwisata membutuhkan pedoman teknis yang jelas dan masyarakat lokal memerlukan instruksi sederhana yang bisa langsung diterapkan di rumah.

Jika pemerintah mengabaikan diversitas audiens ini, hasilnya adalah munculnya ruang kosong informasi yang kemudian diisi oleh spekulasi atau rumor yang dapat memperkeruh situasi.

Di samping itu, penggunaan plain language sangat diperlukan agar pesan mudah dipahami, tidak menimbulkan salah tafsir, dan dapat segera ditindaklanjuti oleh masyarakat. Instruksi yang ambigu atau jargon teknis yang tidak dijelaskan dapat memicu kepanikan kecil yang kemudian membesar di ruang digital.

Maka, langkah-langkah teknis seperti simulasi banjir, pemetaan risiko, atau sosialisasi pengelolaan sampah selama masa transisi perlu ditemani penjelasan visual, leaflet sederhana, dan narasi yang konsisten nan masif. Dengan cara ini, masyarakat merasa dilibatkan, wisatawan merasa aman, dan pelaku industri merasa lebih ada kepastian terhadap arah kebijakan.

Pengalaman banjir 10 September 2025 perlu direposisi bukan sebagai “bukti bahwa Bali rentan”, tetapi sebagai titik pembelajaran yang mendorong perbaikan sistemik. Narasi semacam ini hanya mungkin terbangun jika pemerintah dan media mengedepankan komunikasi berbasis data dan menolak sensasionalisme.

Di dalam kajian linguistik pariwisata, citra destinasi tidak hanya ditentukan oleh kondisi fisik, tetapi juga oleh bahasa dan simbol yang digunakan untuk menggambarkan kondisi tersebut (Laba, 2025). Artinya, Bali dapat tetap dipersepsikan sebagai destinasi unggul sejauh pemerintah mampu membangun narasi bahwa perbaikan sedang dilakukan, sistem sedang diperkuat, dan adaptasi sedang berlangsung.

Cara Bali membahasakan isu sampah, curah hujan, dan mitigasi bencana akan menentukan apakah publik dan wisatawan melihat Bali sebagai destinasi yang rentan atau destinasi yang resilien. Integrasi antara pengelolaan lingkungan berbasis data dan strategi komunikasi publik berbasis linguistik adalah kunci untuk menjaga stabilitas pariwisata.

Bila Bali mampu menyelaraskan keduanya, maka penutupan TPA Suwung bukanlah ancaman, melainkan momentum untuk membangun citra baru sebagai destinasi yang bertanggung jawab, berkelanjutan, dan mampu menghadapi tantangan ekologis secara adaptif. Dengan kata lain, keberhasilan Bali di masa transisi ini tidak hanya bergantung pada bagaimana sampah dikelola di lapangan, tetapi juga pada bagaimana pemanfaatan linguistik pariwisata untuk mengemas informasi tersebut kepada wisatawan global dan wisatawan domestik serta ke masyarakat Bali.

Penulis,
Guru Besar Universitas Dhyana Pura
Penulis Buku "Pariwisata dalam Perspektif Wacana Kritis"
Editor Buku "Rethinking International Tourism: Sustainability, Digital Transformation, and Cultural Preservation"

  • Dibaca: 417 Pengunjung
  • |
  • 09 Desember 2025