Penyegelan Bukan Akhir, Melainkan Jalan Baru Menuju Pariwisata Bermartabat
Prof. Dr. I Nengah Laba, Guru Besar Universitas Dhyana Pura, Penulis Buku "Pariwisata dalam Perspektif Wacana Kritis", Editor Buku "Rethinking International Tourism: Sustainability, Digital Transformation, and Cultural Preservation"
Penyegelan Bukan Akhir, Melainkan Jalan Baru Menuju Pariwisata Bermartabat
oleh
I Nengah Laba
Sebagai destinasi pariwisata global, Bali lahir dan tumbuh dari kekaguman seniman dan intelektual dunia terhadap budaya dan lanskapnya. Dalam Island of Bali (1937), salah satu pengulas awal menyebut bahwa “the Balinese are perhaps the greatest artists in the world”. Kalimat ini bukan sekadar pujian, melainkan fondasi imajinatif yang membentuk gambaran dunia tentang Bali sebagai pulau seni, harmoni, dan spiritualitas yang membudaya. Warisan imaji inilah yang hingga kini menarik jutaan orang datang. Pun, Bali mencatat 6,33 juta kunjungan wisman pada 2024, salah satu yang tertinggi pascapandemi.
Namun di balik pencapaian jumlah kunjungan itu, Bali menghadapi dilema serius. Ledakan pembangunan vila, resort, beach club, restoran, hingga fasilitas hiburan tumbuh jauh lebih cepat daripada kemampuan tata ruang dan regulasi mengendalikannya. Di berbagai titik, alih fungsi lahan berlangsung tanpa perencanaan matang. Izin kemungkinan besar diterbitkan dalam sistem yang fragmentaris; pengawasan konstruksi sering baru dilakukan ketika bangunan hampir selesai. Kombinasi faktor inilah yang membuat risiko pelanggaran ruang semakin besar dan tak terhindarkan.
Wajar jika kemudian muncul gelombang penyegelan dan pembongkaran bangunan yang dianggap tidak sesuai izin dan melanggar tata ruang. Respons publik pun terbelah. Bagi sebagian, tindakan ini adalah bentuk ketegasan—sebuah sinyal bahwa Bali menolak menjadi wilayah “hukum rimba” di mana pembangunan bisa dilakukan semaunya. Namun bagi sebagian lain, penyegelan dianggap merusak iklim investasi, mengancam lapangan kerja, dan menimbulkan ketidakpastian ekonomi.
Keduanya benar dalam porsinya. Penyegelan memang memiliki nilai positif. Ia melindungi kawasan suci, sempadan pantai dan sungai, akses publik, serta ruang ekologis yang kian terhimpit. Ia menunjukkan bahwa keuntungan jangka pendek tidak boleh mengorbankan keberlanjutan Bali. Namun penyegelan dan pembongkaran bangunan yang muncul sebagai langkah reaktif, bukan preventif, menyisakan persoalan tata kelola: aturan yang tumpang tindih, proses perizinan yang tidak terintegrasi, akses informasi yang minim, dan absennya konsultasi sejak awal dengan desa adat dan komunitas lokal.
Apabila akar masalahnya adalah ketidakharmonisan sistem, maka solusinya tidak cukup berhenti pada penyegelan dan pembongkaran. Bali membutuhkan pembenahan struktural agar penyegelan tidak menjadi pola berulang.
Pertama, pemerintah provinsi, kabupaten, dan desa adat perlu menyusun satu peta zonasi terpadu yang menggabungkan RTRW, RDTR, dan norma adat. Peta ini perlu didigitalisasi, transparan, dan mudah diakses sehingga investor dapat memeriksa kelayakan lokasi sebelum membeli tanah atau merancang bangunan. Kepastian sejak awal akan mengurangi pelanggaran sekaligus meningkatkan kepercayaan investasi.
Kedua, pra-konsultasi antara investor, pemerintah, dan desa adat perlu diterapkan sebelum perizinan difinalkan. Desa adat bukan hanya pemilik legitimasi budaya, tetapi juga penjaga ruang spiritual dan ekologis yang tidak selalu tercatat dalam dokumen teknis. Dengan melibatkan desa adat sejak awal, potensi konflik dapat ditekan dan nilai-nilai lokal dapat diintegrasikan secara konstruktif.
Ketiga, pengawasan konstruksi perlu dilakukan secara bertahap dan preventif. Pemeriksaan berkala pada fase awal pembangunan jauh lebih murah, lebih adil, dan lebih efektif daripada menunggu pelanggaran terjadi.
Keempat, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme kolaboratif yang melibatkan pemerintah, adat, dan pelaku usaha. Bali membutuhkan forum mediasi yang cepat, kredibel, dan berbasis data agar keputusan penertiban tidak lagi dianggap sebagai hukuman sepihak, melainkan bagian dari tata kelola ruang yang terukur.
Jika seluruh langkah ini diterapkan, penyegelan tidak lagi menjadi headline yang menghebohkan, tetapi berubah menjadi instrumen terakhir dalam sebuah sistem yang lebih rapi, lebih adil, dan lebih berpihak pada masa depan Bali. Penataan ruang yang harmonis akan memudahkan investasi yang bertanggung jawab. Pembangunan pun dapat berlangsung tanpa merusak nilai budaya dan lingkungan yang membuat Bali istimewa sejak awal bergeliatnya pariwisata.
Karena itu, tindakan tegas pemerintah provinsi dan kabupaten dalam menertibkan bangunan bermasalah sebenarnya adalah langkah yang tepat, meskipun mungkin kurang populer. Ketegasan ini menunjukkan bahwa Bali bukan hanya mengejar jumlah wisatawan, tetapi menjaga kualitas ruang hidup dan martabat budaya. Ia adalah sinyal bahwa Bali tidak ingin kehilangan jiwanya demi pertumbuhan angka normatif-ekonomi yang instan.
Apabila langkah tegas ini diikuti dengan reformasi tata kelola, dengan sinergi antara pemerintah, adat, dan pelaku usaha, maka penyegelan dan pembongkaran yang viral saat ini akan tercatat bukan sebagai akhir, tetapi sebagai titik awal pembenahan besar. Titik awal menuju Bali yang lebih adil bagi warga, lebih ramah bagi lingkungan, lebih pasti bagi investor, dan lebih bermartabat sebagai destinasi wisata dunia.
Pada akhirnya, masa depan Bali tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang dibangun, melainkan seberapa baik pulau ini dijaga. Dan dalam konteks itu, penyegelan bukan akhir, melainkan jalan baru menuju pariwisata yang benar-benar bermartabat.
Penulis,
Guru Besar Universitas Dhyana Pura
Penulis Buku "Pariwisata dalam Perspektif Wacana Kritis"
Editor Buku "Rethinking International Tourism: Sustainability, Digital Transformation, and Cultural Preservation"
Kearifan Lokal dan Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi UU Kepariwisataan 2025
Linguistik Pariwisata: Membahasakan Sampah dan Risiko Banjir Menjelang Penutupan TPA Suwung
Penyegelan Bukan Akhir, Melainkan Jalan Baru Menuju Pariwisata Bermartabat
Tridatu Golf 2025 Kembali Digelar: Sport–Charity untuk Memperkuat SDM Hindu dan Gerakan Sosial Berkelanjutan
Diseminasi Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan BPK Wilayah XV Dorong Penguatan Dokumentasi Karya Budaya dan Pariwisata
Peran Indonesia dalam Bidang Pendidikan di ASEAN
Pola Komunikasi Publik di tengah Pandemi Covid-19
TUMPEK LANDEP–LANDUHING IDEP: RESEARCH METHOD UNTUK MENJAGA KETAJAMAN INTELEGENSI DAN INTELEKTUAL
Pariwisata di Masa Pandemi Covid-19
SADHAKA SANG SISTA: TEMPAT MEMINTA AJARAN DAN PETUNJUK SUCI