COVID-19 dan Harmonisasi Pembangunan Bali Berkelanjutan.
I Gusti Bagus Rai Utama, Dosen Universitas Dhyana Pura dan Pemerhati Sosial & Pariwisata
COVID-19 dan Harmonisasi Pembangunan Bali Berkelanjutan
Oleh
I Gusti Bagus Rai Utama
Keanekaragaman industri dalam sebuah perekonomian daerah ataupun negara menunjukkan sehatnya sebuah negara. Bali yang hanya menggantungkan perekonomiannya pada sektor pariwisata akan beresiko dalam ketahanan ekonominya. Masih teringat jelas ketika Bali mengalami tragedi bom dan saat ini pandemi COVID-19, perekonomian Bali nyaris tak berjalan normal dan bisa lumpuh akibat terlalu mengandalkan industri pariwisata. Lalu, solusi dan harmonisasi apa yang perlu segera diupayakan?
Industri Alternatif
Dalam kondisi tertentu, perekonomian sebuah negara dikatakan berisiko jika hanya menggantungkan diri pada satu sektor tertentu melebihi 10% dari total keseluruhan perekonomiannya. Berisiko dalam pengertian jika terjadi krisis atau kelesuan pada sektor tersebut, konsekuensi logisnya adalah akan terjadi kelesuan terhadap perekonomian keseluruhan. Idealnya, terjadinya sebaran merata atas beberapa sektor yang biasa diukur dalam Produk Domestik Regional Bruto yakni sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, energi, bangunan atau property, perdagangan (hotel dan restoran), pengangkutan atau transportasi, keuangan, dan jasa-jasa lainnya.
Coba kita bandingkan dua sektor yang dominan pada perekonomian Bali saat ini. Sektor pertanian mengalami penurunan secara rata-rata sebesar 0,5%, sementara sektor pariwisata (perdagangan, hotel, dan restoran) mengalami peningkatan 0,5% setiap tahunnya terhadap total PDRB Bali. Jika trend penurunan peran pertanian dan peningkatan peran pariwisata terhadap PDRB tidak dicermati dan diantisipasi dengan baik, maka sangat dimungkinkan kita akan kehilangan kemandirian sebagai sebuah masyarakat. Sebab Bali akan terlalu tergantung pada pariwisata, sementara modal kedaulatan mandiri, yakni sektor pertanian, perannya semakin lemah.
Meski bukan lagi menjadi sektor yang paling dominan dalam membentuk ekonomi Bali, peranan pertanian dalam kesejahteraan penduduk Bali masih sangat penting. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa sebagian besar pekerja di Bali masih mengandalkan pertanian sebagai sumber mata pencarian. Untuk itu, Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan salah satu indikator dalam melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di daerah pedesaan menjadi indikator penting untuk diperhatikan.
Melihat kondisi di atas, sangat diperlukan adanya rasionalisasi oleh pemerintah terhadap kedua sektor tersebut yakni dengan melakukan pembatasan dan seleksi terhadap pembangunan pariwisata. Infrastruktur dan sektor pendukung pariwisata yang terlanjur ada sebaiknya dapat ditingkatkan kualitasnya dengan berbagai program semisal standardisasi dan sertifikasi sembari melakukan pemasaran destinasi yang selektif dan memungkinkan mendatangkan wisatawan yang berkualitas.
Pemerintah juga harus mulai memandang serius sektor pertanian secara adil dan seimbang karena bagaimanapun sektor ini masih menjadi tumpuan sebagian besar masyarakat Bali. Sektor pertanian harus segera diberdayakan. Harusnya pembangunan pariwisata diarahkan pada pengembangan pariwisata pro rakyat semisal desa wisata, agrowisata, dan sejenisnya yang dikelola secara serius sehingga masyarakat desa benar-benar dapat diberdayakan.
Majalah Time, Amerika Serikat, pada edisi 11 Juli 2011 menurunkan laporan yang sangat menarik mengenai kecenderungan yang sekarang berlangsung di Amerika Serikat mengenai pertanian. Pada sebuah artikel berjudul “Want to Make More than a Banker? Become a Farmer!”, penulisnya melaporkan bahwa di Amerika Serikat saat ini mulai timbul kesadaran bahwa menjadi petani adalah pekerjaan paling bagus pada abad ke-21. Penghasilan petani meningkat tajam karena kenaikan harga pangan. Pada saat ekonomi secara keseluruhan hanya tumbuh pada laju 1,9%, penghasilan dari bidang pertanian telah meningkat sebesar 27% tahun sebelumnya dan diramalkan akan meningkat lagi sebesar 20% pada tahun berikutnya. Laporan ini dapat menjadi gambaran bahwa negara sebesar Amerika Serikat pun tidak rela mengabaikan sektor pertanian karena begitu besar peran sektor itu terhadap eksistensi dari sebuah negara.
Coba kita beranalogi sebagai berikut: Jikalau tidak ada kunjungan wisatawan ke Bali seperti saat ini dan jika kita memiliki cadangan pangan yang cukup untuk masyarakat kita, pastinya perekonomian Bali masih tetap bertahan. Namun akan terjadi hal sebaliknya jika kita tidak memiliki cadangan pangan yang cukup.
Tantangan yang harus dihadapi Bali adalah membuat pertanian menjadi ladang investasi dan jaminan masa depan yang menarik. Harus diakui tantangan itu cukup berat. Persoalannya cukup kompleks, meskipun banyak di antaranya lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang setengah hati dan tidak seimbang, misalnya kebijakan impor produk pertanian yang bersaing langsung dengan produk lokal, mau tidak mau kita harus menghasilkan produk yang berkualitas.
Sebuah ironi bahwa sekarang ini lebih mudah untuk menemukan apel Washington, jeruk dari Tiongkok, beras dari Vietnam, dan barang impor lain di pasar. Terlanjur berubahnya perilaku masyarakat Bali ke arah masyarakat konsumtif juga menjadi tantangan yang amat berat untuk diatasi. Konsep nasionalisme mesti kembali dipropagandakan untuk menuju masyarakat yang mandiri atas kekuatan kelokalan yang senyatanya.
Jika tanah kita hanya menghasilkan jeruk masam kenapa kita harus mempertontonkan jeruk manis yang bukan produksi kita sendiri? Perlu keragaman sektor perekonomian sehingga perekonomian Bali tidak terlalu berisiko seperti saat ini, perlu kerja keras semua stakeholder pembangunan Bali untuk mewujudkan kemandirian perekonomian Bali ke depan.
Berbicara mengenai Bali tentunya selalu dikaitkan dengan industri pariwisatanya yang telah berkembang sejak puluhan tahun silam. Pandangan ini tentu saja sangat berpihak pada sektor tertentu dan terkesan sangat tidak seimbang. Pertumbuhan industri ini nyatanya telah menimbulkan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan sektor ekonomi dan industri lainnya di Pulau Dewata. Hanya saja, sebagai industri yang menggabungkan barang dan jasa, eksistensi pariwisata sangat bergantung pada keberadaan konsumen, yaitu wisatawan. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan kuantitas wisatawan ke Bali di tengah kompetisi industri pariwisata secara global.
Harmonisasi
Pengembangan pariwisata berkelanjutan dapat menjadi solusi meningkatkan daya saing kepariwisataan Bali. Pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism merupakan konsep pariwisata yang memperhitungkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, tidak hanya untuk saat ini melainkan juga di masa depan.
Keberadaan kegiatan pariwisata tidak hanya memberikan keuntungan atau profit bagi investor, juga menyejahterakan masyarakat lokal serta tetap mempertahankan keanekaragaman hayati di suatu destinasi wisata dan melestarikan nilai-nilai warisan budaya masyarakat setempat.
Jika konsep pariwisata berkelanjutan dapat terealisasikan di Bali seperti adanya gerakan pembangunan pariwisata berkelanjutan di desa-desa wisata, baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun dilakukan secara swadaya oleh masyarakat.
Prinsip keberlanjutan dapat diterapkan dengan program pengembangan desa wisata sebagai wujud idealisme ekonomi berbasis kerakyatan. Hal ini diimplementasikan dengan memberdayakan seluruh elemen di desa untuk menggerakkan pariwisata. Sebagai contoh, tidak diperlukan pembangunan akomodasi baru di desa wisata. Rumah-rumah warga dapat dimanfaatkan sebagai homestay. Di satu sisi menjadi daya tarik bagi wisatawan sementara di sisi lain dapat memunculkan rasa kebanggaan terhadap masyarakat lokal karena mereka tidak hanya menjadi penonton melainkan telah berpartisipasi di industri pariwisata Bali. Dampak positif lainnya yang dirasakan oleh desa wisata adalah tidak adanya eksploitasi lingkungan untuk kepentingan pariwisata. Selama ini pariwisata dianggap sebagai penyebab kerusakan ekologi karena kegiatan pariwisata memerlukan pembukaan lahan secara masif.
Melalui konsep pariwisata berkelanjutan ini, pelaku pariwisata hanya perlu mengelola potensi alam yang ada secara bijak guna mewujudkan prinsip keberlanjutan pada aspek lingkungan hidup. Prinsip Pariwisata Berkualitas tidak hanya prinsip keberlanjutan tetapi juga prinsip pariwisata berkualitas menjadi concern bagi semua pihak.
Pariwisata yang berkualitas memiliki tiga dimensi atau Triangle Quality Tourism, yakni Quality of Tourist Experience, Quality of Life dan Quality of Investor. Sinergi dan harmonisasi tiga dimenasi ini perlu segera diupayakan dan diimplementasikan untuk mendapatkan kembali perekonomian Bali yang sering mengalami pasang surut ekstrim akibat tergantung terlalu banyak pada sektor pariwisata. Harmonisasi pembangunan Bali berkelanjutan dapat dilakukan dengan keterlibatan sektor pertanian dan industri rumah tangga dalam pergerakan ekonomi. Artinya, tidak bertumpu hanya pada sektor pariwisata. Atau, ekonomi dan pembangunan Bali berkelanjutan akan kehilangan segalanya akibat COVID-19 ?
Penulis, Dosen Universitas Dhyana Pura dan Pemerhati Sosial & Pariwisata
GAGASAN INDEPENDEN PEDOMAN dan STRATEGI PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN INDONESIA
Denpasar Institute Perkuat Budaya Riset dan Inovasi Menuju Kampus Unggul
Denpasar Institute Dorong Pendidikan Berkarakter dan Berdaya Saing Global
Menyalakan Semangat Inovasi, Denpasar Institute Hadirkan Program Inspiratif bagi Generasi Muda
Denpasar Institute Jalin Kerja Sama Strategis dengan Mitra Industri untuk Peningkatan SDM
Peran Indonesia dalam Bidang Pendidikan di ASEAN
Pola Komunikasi Publik di tengah Pandemi Covid-19
TUMPEK LANDEP–LANDUHING IDEP: RESEARCH METHOD UNTUK MENJAGA KETAJAMAN INTELEGENSI DAN INTELEKTUAL
Pariwisata di Masa Pandemi Covid-19
SADHAKA SANG SISTA: TEMPAT MEMINTA AJARAN DAN PETUNJUK SUCI